Satu Abad NU: Harapan dan Tantangan

Advertorial483 Dilihat

 

MENURUT versi Hijriah, Nahdhatul Ulama berdiri pada 16 Rajab 1344 H. Inilah yang menjadi dasar 16 Rajab 1444 H, bertepatan dengan 7 Februari 2023, ormas terbesar di Indonesia ini melakukan acara syukuran satu abadnya, meskipun versi tahun Masehi-nya berdiri pada 31 Januari 1926. Rangkaian satu abad NU ini dilaksanakan dengan sangat meriah sebagai bentuk syukur atas kiprah dan eksistensi NU selama ini; dari mulai R-20 (Religion Twenty) hingga resepsi akbar sebagai puncak acara pada 7 Februari 2023 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo.

Di usianya yang ke-100 tahun ini, banyak hal yang sudah dikerjakan NU. Tentu, masih banyak yang ditunggu dari kerja-kerja NU, terlebih banyak masalah nasional seperti kemiskinan, penegakan hukum, stabilitas pangan, dan ekonomi, serta masalah-masalah kebangsaan lainnya. Masalah global yang menunggu peran besar NU; konflik Rusia-Ukraina, moderasi beragama, toleransi dan islamofobia, dan tentunya kemerdekaan Palestina.

Jasa besar NU

Bersama-sama ormas Islam yang lain, para kiai dan santri, serta elemen bangsa, NU memiliki andil yang sangat besar dalam lahir dan merdekanya Indonesia, bahkan pascakemerdekaan. Ketika rencana agresi militer Belanda, Panglima Besar Sudirman memecah kebuntuan diskusi di Istana kala itu. Kita mintakan fatwa jihad kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Hingga keluarlah Resolusi Jihad yang kemudian dibacakan dan disiarkan melalui radio oleh Bung Tomo. Saksinya arek-arek Suroboyo santri dan kiai memekik takbir, menghancurkan kesombongan kolonialisme dan imperialisme Inggris dan Belanda. Kita mengenangnya sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945. Resolusi Jihad inilah yang kita rayakan sebagai Hari Santri.

Komite Hijaz yang diprakarsai oleh KH Wahab Chasbullah yang beranggotakan 14 orang, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya NU, melakukan negosiasi kepada Kerajaan Arab Saudi Ibnu Saud yang beraliran Wahabi kala itu untuk mengurungkan niat terkait pemindahan makam Nabi. Andaikan ide reposisi makam Nabi ini terjadi, tak dibayangkan bagaimana perselisihan dunia Islam kala itu. Akan sangat banyak kontribusi NU. Butuh ratusan halaman untuk menceritakan pastisipasi nasional dan internasional NU.

Moderatisme dan inklusivisme yang membangun NU dan menjadi patsun NU bukan hanya narasi saat ini. Dari awal karakter ini sudah sangat kuat. KH Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur, menjadi Menteri Agama RI era awal Soekarno. Ia memperkenalkan santri itu bukan hanya mengaji ilmu agama, tapi juga bahasa Inggris dan matematika. Sebagian kiai saat itu masih sangat tabu dengan bahasa Inggris karena bahasanya para kolonialis dan imperialis. Melalui kebijakan KH Wahid Hasyim, pesantren menerima kurikulum sekolah umum. Santri harus maju dan terbuka.

NU tidak bisa dipisahkan dengan santri, kiai, dan pesantren. Martin van Bruinessen, seorang antropolog Belanda, melakukan sebuah penelitian yang ciamik tentang kitab kuning. Inilah NU sejatinya. Sungguhpun sejatinya kaum nahdiyin identik dengan kitab kuning dan metode pengajarannya sangat harfiyyah metode attarjamah wal qawa’id (grammatical method), tapi pemikiran dan konstruksi nalar kiai dan santri sangat terbuka dan toleran (open minded and tolerance). Gus Dur membuktikan narasi inklusif, keterbukaan, dan thinking equality. Singkatnya, pakaian boleh sarungan, tapi pemikiran terbuka dan mengglobal.

Tantangan NU

NU hari ini kiprahnya luar biasa. Kaum nahdiyin bukan hanya di pesantren. Nahdhiyyin sudah fasih berbicara di Senayan bahkan di forum-forum internasional. Ia tidak hanya mengaji kitab kuning, tapi juga membuat undang-undang dan mengejawahtakan konstitusi. Inilah kelebihan orang NU. Ia biasa membaca kitab gundul, apalagi kitab latin.

Ketika peran di luar pesantren sudah menjadi daya tarik yang amat menggoda, jangan sampai pesantren kehilangan kiainya. Kehilangan kiai sama dengan kehilangan panutan. Pesantren adalah dasar berdirinya Republik ini. Tak berlebihan kalau pesantren harus tetap kokoh. Di sinilah santri dan kiai mengamalkan ilmu ikhlas. Banyak peneliti mengatakan, termasuk Martin van Bruinessen, bahwa pesantren ada Indonesia tetap ada.

Maka, peringatan Satu Abad NU ini, walaupun mengambil tema Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru, pastikan para kiai harus lebih banyak di pesantren. Para pendiri NU telah membuktikan tersebut. Cahaya itu posisinya tidak berubah karena ia lentera raksasa. Jika cahaya dibawa ke mana-mana, ia hanya lentera kecil.

Moderatisme dan inklusivitas NU tidak diragukan oleh banyak pihak. Justru banyak pihak di luar NU sedang bermetamorfosis aktualisasi freedom of thingking dan moderatisme. Artinya, dalam hal ini NU sudah melangkah sangat jauh. Inilah yang menjadi gap komunikasi dengan ormas-ormas yang lain terkait soliditas keumatan.

Dalam 10 tahun terakhir, gerakan ekonomi dan modernisasi pendidikan di lingkungan NU trennya sangat positif. Narasi moderatisme Islam Nusantara tidak cukup menjadi syarah para kiai di pesantren, tapi ia harus menjadi kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi. Definisi pesantren harus dikembangkan. Pesantren adalah lingkungan pembelajaran Islam berpaham Aswaja, berakhlak para ulama, ikhlas dalam beramal dari mulai TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi untuk kemaslahatan bangsa dan semesta sebagai aktualisasi Islam rahmatan lil ’aalamin.

NU harus terus berinovasi sembari menguatkan nilai-nilai akidah ahlusunah. Inilah karakter al-muhafazhatu alal qadiim ash-shalih wal akh’dzu bil jadid al-ashlah (menjaga nilai tradisionalis yang unggul mengambil nilai modern universal yang lebih bermanfaat.

NU adalah organisasi Islam terbesar bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Inovasi-inovasi ekonomi dan kemandirian organisasi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sumber daya nahdiyin sudah tersebar di semua lini. Man yamliku quutal mar’I yamliku qaraaru (berdikari adalah kemandirian). Sesuai namanya Nahdhlatul Ulama, kebangkitan ulama.

Tangan di atas lebih baik ketimbang tangan di bawah. Inilah dalil kemandirian asli dari kitab kuning. Alhamdulillah, saat ini sudah banyak Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di berbagai negara; Mesir, Sudan, Arab Saudi, Malaysia, Inggris, Jerman, Amerika, dan banyak di berbagai negara lainnya. Artinya, mahasiswa-mahasiswa NU sudah sangat mandiri dan ekspansi paham aswaja ala Indonesia bergaung di global. Ini luar biasa. Kasus NU di Sudan, bagaimana PCI NU bekerja sama dengan lembaga-lembaga lokal hingga mendapatkan beasiswa. Membuka akses usaha dengan beberapa pengusaha. Inilah karakter santri yang gemar membantu dan berinovasi.

Modernisasi organisasi harus terus dilakukan. Kuatnya konstruksi nalar dan gemulainya tafsir pemikiran sangat bergantung dalamnya akar yang tertanam. Inilah satu wasiat Gus Dur. Siapa yang tidak mengenalnya sebagai tokoh pluralisme. Dalam organisasi kita harus belajar kepada Muhammadiyah. Selamat Satu Abad NU, bangga menjadi keluarga besar Nahdlatul Ulama.

tiser :

Modernisasi organisasi harus terus dilakukan. Kuatnya konstruksi nalar dan gemulainya tafsir pemikiran sangat bergantung dalamnya akar yang tertanam. Inilah satu wasiat Gus Dur. Siapa yang tidak mengenalnya sebagai tokoh pluralisme. Dalam organisasi kita harus belajar kepada Muhammadiyah. Selamat Satu Abad NU, bangga menjadi keluarga besar Nahdlatul Ulama.***MIOL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *