Putusan PN Jakpus terkait Penundaan Pemilu Batal Demi Hukum

Politik1691 Dilihat

PENGAJAR hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyatakan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang secara implisit memerintahkan KPU menunda Pemilu dari 2024 ke Juli 2025 harus dinyatakan batal demi hukum.

Feri menjelaskan, Mahkamah Agung telah menerbitkan aturan khusus terkait penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum melalui Peraturan MA (Perma) Nomor 2/2019. Beleid itu meminta PN untuk melimpahkan perkara perbuatan malwan hukum ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Jika PN terlanjur menyidangkan perkara perbuatan melawan hukum, putusannya harus berbunyi NO atau Niet Ontvankelijke Verklaard yang berarti tidak dapat terima karena cacat formil. Oleh karena itu, Feri sendiri heran mengapa majelis hakim PN Jakarta Pusat tetap menyidangkan gugatan Prima dan bahkan menjatuhkan putusan yang salah satunya menghukum KPU tersebut.

“Kalau kewenangan absolut peradilan dilanggar, berlaku konsep bahwa itu harus dinyatakan batal demi hukum, dianggap perbutan itu tidak pernah ada,” jelas Feri dalam acara Polemik bertajuk Jalan Terjal Pemilu 2024 yang digelar MNC Trijaya, Sabtu (4/3).

Kendati demikian, batal demi hukumnya putusan PN Jakarta Pusat yang diketok hakim ketua T Oyong bersama hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban baru bersifat teori dan pemahaman hukum semata. Oleh karena itu, Feri mendukung sikap KPU yang langsung menyatakan akan mengajukan upaya hukum banding atas putusan tersebut agar dikoreksi pengadilan tinggi.

Dalam acara yang sama, anggota Bawaslu RI Totok Haryono menjelaskan sengketa Prima saat proses verifikasi calon peserta Pemilu 2024 terhadap KPU sudah dilakukan pihaknya sampai ke tahap ajudikasi. Bawaslu, lanjutnya, memberikan kesempatan Prima untuk memperbaiki syarat yang diminta KPU.

“Ternyata walaupun sudah ada perbaikan, Prima masih dianggap belum memenuhi syarat,” jelasnya.

Setelah itu, Prima kembali mengajukan sengketa tersebut ke Bawaslu. Kendati demikian, Bawaslu tidak dapat memperkarakannya karena asas ne bis in idem atau objek perakra sengketa yang sama.

Menurut Totok, Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu menghormati segala proses hukum yang berlaku, baik oleh Prima yang mencari keadilan, maupun sikap KPU yang segera menyatakan banding. “Dan kita akan menunggu konsekuensinya, kita masih mengkaji, mendalami sampai putusan akhirnya.”

Adapun peneliti pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Noory Okhtariza, menyinggung dugaan ‘pemain liar’ yang sengaja memanfaatkan isu penundan pemilu sebagai alat tawar politik. Meski pemerintah berulang kali menegaskan Pemilu 2024 berjalan sesuai tahapan, ia tidak memungkiri adanya kelompok yang berupaya melobi agar pesta demokrasi itu ditunda.

Anggota KPU RI Idham Holik yang dihubungi secara terpisah enggan menanggapi lebih lanjut adanya dugaan kelompok terorganisir di balik putusan PN Jakarta Pusat. Menurutnya, KPU tidak dapat mengomentari hal yang bersifat spekulatif.

Idam mengatakan, KPU hanya dapat merespon fakta hukum. Sebagai penyelenggara pemilu, Idham menyebut pihaknya memaknai gugatan atau sengketa pemilu dalam moment of truth alias momen pembuktian kebenaran.

Pihaknya menghormati hak masyarakat untuk mengajukan sengketa yang dijamin Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. “Pada saat kami mengikuti persidangan di Bawaslu maupun PTUN (atas gugatan Prima), itu pun bagian dari perintah hukum, UU Pemilu.***MIOL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *