Pembatasan Masa Jabatan Presiden Harus Jadi Pedoman Berbangsa

Politik1271 Dilihat

 

DI tahun 2023 ini, gerakan reformasi memasuki usia ke-25 tahun. Meskipun lanskap politik telah mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, upaya untuk menjadikan Indonesia lebih demokratis sebagai jalan guna meraih tujuan berbangsa dan bernegara, menghadapi tantangan yang tak mudah.

Hal itu dapat dilihat, misalnya, dari kemunculan usulan dan upaya politik untuk memperpanjang masa jabatan Presiden, yang belakangan marak kembali. Meskipun dinilai bertentangan dengan spirit konstitusionalisme dan nilai-nilai demokrasi, usulan tersebut masih saja digelorakan oleh pihak-pihak tertentu.

Karena itu, konsistensi publik dalam menjaga agar Pasal 1 ayat (2) dan (3) yang dielaborasi dengan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22E dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengalami amandemen, dianggap penting.

Kesimpulan tersebut menyeruak dalam acara Dialog Kebangsaan ”Refleksi 25 Tahun Reformasi” yang diselenggarakan oleh Forum 2045 di Ballroom UC – Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (9/2/2023).

Forum 2045 adalah kelompok guru besar, akademisi dan pegiat sosial dari berbagai kampus dan institusi di Indonesia, yang berkolaborasi untuk menyiapkan kontribusi akademik bagi penyusunan cetak biru Indonesia pasca-tahun 2025.

”Pasal-pasal yang mengatur pembatasan masa jabatan Presiden seharusnya menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara,” ujar Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH, M.Hum, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia yang menjadi salah satu pembicara dalam dialog.

Pakar hukum yang dijuluki ”Srikandi Konstitusi” itu juga mengingatkan betapa berbahayanya wacana penundaan Pemilu.

Sebab, selain bertentangan dengan semangat berkonstitusi dan berdemokrasi, penundaan Pemilu juga menghambat terjadinya regenerasi kepemimpinan bangsa dan menyingkirkan peluang untuk memperbaiki kehidupan rakyat.

”Pemilu yang berkala akan menjamin terjadinya regenerasi dan memberi kesempatan kepada rakyat untuk menilai kinerja rezim sebelumnya, agar mereka dapat menentukan masa depan yang lebih baik,” ucapnya di depan ratusan peserta dialog.

Selain Ni’matul Huda, ”Refleksi 25 Tahun Reformasi” juga menghadirkan pembicara pakar ilmu pemerintahan dari UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso dan peneliti politik BRIN, Prof. Dr. R. Siti Zuhro.

Di samping paparan para pakar, beberapa pimpinan partai politik juga turut menyampaikan paparannya dalam forum tersebut yakni, Dr. Didik Mukrianto (Ketua DPP Partai Demokrat), Saur Hutabarat (Ketua Mahkamah Partai NasDem), dan H. Sukamta, Ph.D. (Anggota F-PKS DPR RI).

Dalam paparannya, Didik Mukrianto (PD) mengemukakan bahwa Indonesia ke depan memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk menjadikan demokrasi lebih stabil, kuat dan berkualitas.

Penguatan demokrasi tersebut, kata Didik, harus dapat berjalan seiring dengan upaya untuk membuat ekonomi lebih kokoh, adil dan berkelanjutan serta upaya memajukan peradaban bangsa.

”Karena itulah, kita membutuhkan kepemimpinan yang memiliki visi perubahan dan perbaikan,” pungkasnya.***MIOL

EDITOR: ADI SISWOYO WASGO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *