DI tengah perkembangan teknologi komunikasi, melimpahnya informasi ialah sebuah keniscayaan. Dengan perangkat teknologi, terutama telepon genggam yang dilengkapi jaringan internet, setiap orang kini mudah untuk memperoleh, bahkan membuat berita dan sekaligus mewartakannya.
Tentu tidak semua berita yang beredar itu layak dipercaya, bahkan tidak sedikit di antaranya sesat atau palsu. Membanjirnya disinformasi ini berpotensi membuat gaduh ruang publik, bahkan dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Apalagi jika publik lebih memercayai informasi yang tak terverifikasi daripada produk jurnalistik. Ini tentunya tantangan bagi para wartawan. Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 yang kini tengah diperingati di Medan, Sumatra Utara, kiranya dapat menjadi momentum bagi insan pers untuk urun rembug memikirkan bagaimana mengembalikan kepercayaan publik kepada institusi pemberitaan.
Mengedukasi publik tentang pentingnya literasi digital memang perlu. Namun, langkah yang lebih krusial lagi ialah bagaimana meningkatkan kualitas wartawan dalam memproduksi berita.
Jujur, harus diakui, pemberitaan yang ada saat ini, termasuk yang diproduksi media arus utama, kerap terjebak pada jurus clikbait (umpan klik) dan menghamba pada kuasa algoritma. Berita yang disajikan lebih mengikuti apa yang sedang ramai jadi perbincangan atau tren di masyarakat.
Tidak mengherankan berita seputar perselingkuhan atau perceraian seorang artis lebih mendominasi ruang atau halaman media digital ketimbang informasi seputar jembatan yang rusak dan nyaris ambruk, misalnya, hanya demi kebutuhan viewer. Padahal, loyalitas jurnalisme ialah pada kepentingan publik, bukan pada seputar wilayah privat.
Elemen dasar lainnya yang belakangan juga sering dilanggar ialah verifikasi. Sebuah obrolan atau cicitan dalam Twitter, kadang langsung dijadikan berita tanpa verifikasi dan konfirmasi atau wawancara ulang kepada si pemilik akun untuk menanyakan maksud sebenarnya dari celotehannya tersebut.
Harus diakui, jurnalisme malas seperti ini masih menghantui institusi pemberitaan kita, baik online maupun cetak. Padahal, kedisiplinan verifikasi merupakan intisari atau roh jurnalisme.
Selain permasalahan internal ini, tantangan lainnya bagi insan pers saat ini ialah kehadiran sejumlah platform global yang dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup media nasional, terutama dari sisi finansial.
Kita tentu patut berterima kasih kepada Presiden Jokowi yang telah menyiapkan perpres yang dapat menjadi payung hukum untuk mengatur pola kerja sama dan hubungan antara media dan platform global tersebut, demi ekosistem pers yang berkeadilan.
Dengan payung hukum itu, kita mungkin bisa mencontoh langkah Australia yang mewajibkan Facebook untuk membayar kepada penerbit atau media lokal terkait konten berita yang ditayangkan di platform tersebut.
Ekosistem industri pers memang sudah seharusnya terus ditata, baik dari sisi finansial maupun kontennya. Oleh karena itu, para pelaku di industri ini harus mampu memperbaiki segala kelemahan dan terus berinovasi.
Tidak hanya sekadar untuk bertahan, tetapi juga untuk berkibar lebih tinggi lagi dengan menghasilkan karya-karya jurnalistik berkualitas serta tidak terjebak dalam sikap pragmatis yang menggerus integritas. untuk mengakselerasi pertumbuhan yang sehat, pers kiranya perlu membanjiri kanal-kanal ataupun lembar halaman dengan berita-berita yang berkualitas dan mencerdaskan.
Semoga dengan begitu pers tidak hanya sekadar bertahan, tapi juga tetap bermartabat di tengah pusaran arus zaman.***MIOL