Kebijakan Finlandia Tutup Perbatasan dengan Rusia Picu Protes

Ragam1039 Dilihat

FINLANDIA || Setelah Finlandia mulai menutup kebanyakan pos perbatasan dengan Rusia pada tanggal 24 November lalu, para migran dari negara ketiga pergi ke perbatasan paling terpencil di Lapland, yang berjarak lebih dari 1.000 kilometer dari Helsinki dan 250 kilometer dari Murmansk di Rusia. Namun, pada tanggal 30 November, Finlandia juga menutup pintu penyeberangan itu.

“Pengungsi datang dari sana,” kata kepala pos pemeriksaan, Vesa Arfmann, sambil menunjuk ke arah Rusia. Ia kemudian menggiring para jurnalis ke sebuah kontainer yang berisi “alat transportasi” yang ditinggalkan, karena perbatasan tidak boleh dilintasi dengan berjalan kaki. Sepeda bertumpuk di sana. “Sekarang, ini menjadi milik negara Finlandia, mungkin akan dilelang,” jelas Santeri Komu, pejabat perbatasan lainnya. Mereka yang mengantar para jurnalis yang meninjau.

Rombongan kemudian dibawa ke sebuah hanggar. Biasanya para pencari suaka menunggu giliran wawancara mereka di sini. Mereka akan ditanyai siapa nama, dari mana asal, dan mengapa mereka mengajukan permohonan suaka. Sering kali dibutuhkan seorang penerjemah, yang kemudian akan dipanggil. Banyak migran yang tidak membawa dokumen, tapi ada juga yang punya dokumen lengkap. Dua pria dari Yaman baru-baru ini tiba dengan membawa paspor, kata Komu.

Penutupan perbatasan merupakan pukulan serius bagi penduduk Finlandia yang berbahasa Rusia. Jumlahnya hampir 100.000 orang dari sekitar lima setengah juta penduduk Finlandia. Banyak di antara mereka yang tinggal di Finlandia dan Rusia, dan bukan hal yang aneh untuk melakukan perjalanan melintasi perbatasan ke Vyborg atau St. Petersburg yang berdekatan.

Pada akhir November, Viktoria Ilyina dan Yevgeny Koschevnikov ingin berkendara dari Lappeenranta di Finlandia selatan ke St. Petersburg, tempat putra mereka Serafim yang berusia lima tahun akan menjalani operasi. Mereka pindah ke Finlandia setahun yang lalu, tetapi mereka lebih memilih menerima perawatan di Rusia. “Kami punya dokter yang kami percayai dan bisa berbahasa Rusia,” jelas Ilyina. Operasi terpaksa ditunda karena penutupan perbatasan.

Kunjungan yang direncanakan untuk melawat ayah Yevgeny Koshevnikov, yang baru-baru ini menderita strok dan menderita kanker, juga tidak dapat lagi dilakukan. “Saya sangat khawatir kesehatan ayah saya akan terus memburuk dan saya tidak dapat bersamanya,” kata Koshevnikov. “Saya sudah berpikir untuk meninggalkan keluarga saya di sini, entah pergi ke Murmansk atau terbang dari Helsinki ke Istanbul untuk menemaninya.”

Ada banyak cerita seperti itu di Lappeenranta. Kota ini berjarak 25 kilometer dari perbatasan Rusia dan sekitar lima persen penduduk di sana berbicara bahasa Rusia. Menyusul penutupan tiga pos pemeriksaan di selatan, penduduk Lappeenranta yang berbahasa Rusia berdemonstrasi di depan balai kota pada 19 November lalu.

Salah satu penyelenggaranya adalah Ivan Devjatkin. Pemuda itu telah tinggal di Finlandia selama 12 tahun, tempat ia menyelesaikan studinya di universitas. Dia fasih berbahasa Finlandia, bekerja dan memiliki seorang anak lelaki. Dia tidak pernah ambil bagian dalam aksi politik, tetapi penutupan perbatasan mengubah segalanya.

“Itu seperti menusukkan pisau ke punggung, sebuah pengkhianatan dari pemerintah Finlandia, karena kami tidak diperhitungkan, seolah-olah kami, minoritas berbahasa Rusia di Finlandia, tidak memiliki kepentingan sendiri,” keluh Devyatkin. Dia ingin berbicara dengan para politisi dan menyarankan untuk memikirkan bersama tentang pembukaan setidaknya satu perbatasan di wilayah selatan. Ibu, saudara laki-laki dan perempuannya tinggal di Rusia. Mereka semua berencana merayakan Tahun Baru bersama-sama.

Pihak berwenang Finlandia memberi konfirmasi, semua perbatasan sudah ditutup, dan mengatakan bahwa keputusan itu dilakukan karena alasan keamanan nasional. Masuknya migran dari negara ketiga melalui wilayah Rusia meningkat secara signifikan sejak Agustus lalu. Menurut Penjaga Perbatasan Finlandia, hampir 1.000 pencari suaka memasuki negara itu dari Rusia selama ini. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya hanya ada sedikit migran.

Helsinki yakin, pejabat perbatasan Rusia sengaja membiarkan migran masuk ke Uni Eropa tanpa visa. Perdana Menteri Finlandia Petteri Orpo menggambarkan tindakan Rusia sebagai perang hibrida dan melihatnya sebagai tindakan balas dendam atas masuknya Finlandia menjadi anggota NATO.***DTK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *