JAKARTA || Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevry Sitorus merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sepakat semua pihak untuk bersatu kembali setelah kompetisi. Deddy mengatakan yang disampaikan Jokowi kurang substansial dan tampak normatif.
“Itu pernyataan yang sangat normatif, kan memang yang bertarung semua WNI dan tidak ada WNA. Jadi Presiden bicara tentang hal yang kurang substansial,” kata Deddy kepada wartawan, Selasa (7/11/2023).
Deddy mempertanyakan apakah Presiden Jokowi dapat memastikan Pemilu 2024 berlangsung jujur dan adil. Ia meragukan hal itu layaknya aspirasi beberapa suara yang telah masuk ke pihaknya.
“Sama normatifnya dengan pernyataan setelah kompetisi bersatu kembali, menurut saya itu garing banget. Yang rakyat perlu tahu adalah apakah kita bisa percaya bahwa pemilu ini bisa luber dan jurdil?” ucap Deddy.
Menurut Deddy, majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto adalah pertaruhan nama besar Jokowi. Gibran diketahui sebagai Wali Kota Solo yang juga putra sulung Jokowi.
“Banyak tokoh yang menyampaikan keprihatinan yang sama pada kita, umumnya berkata ‘Yang bertarung anak Presiden sendiri, apa mungkin beliau hanya akan berada di pinggir lapangan dan menonton saja seperti nonton acara 17-an di kampung?’,” ujar Sekretaris Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres PDIP ini.
“Bagaimanapun, menang atau kalahnya Gibran adalah pertaruhan besar bagi kehormatan Pak Jokowi, baik sebagai penguasa maupun sebagai seorang ayah. Itu pesan-pesan yang kami terima dari berbagai kalangan,” sambungnya.
Ia menyebut kekuasaan pemerintah saat ini sudah melebihi batas. Deddy menyinggung soal baliho Gibran ataupun Ketum PSI Kaesang Pangarep yang dilakukan oleh salah satu institusi tertentu.
“Sudah banyak tokoh dari berbagai kalangan yang menunjukkan sikap kritis bahkan perasaan dikhianati. Bisa lihat komen-komen publik di media sosial, maupun di kolom komentar berita-berita media mainstream, betapa keraguan dan kemuakan terhadap perilaku kekuasaan hari ini yang dianggap sudah melebihi batas,” katanya.
Ia mengatakan Presiden Jokowi tak tepat mengatakan pemilu kali ini jangan membawa perasaan. Ia mengatakan masyarakat saat memilih Jokowi selama dua periode juga dengan perasaan.
“Jadi Pak Jokowi kurang tepat ketika mengatakan dalam pemilu jangan bawa perasaan. Perasaan itu lahir dari sintesa nilai-nilai dan kesadaran dan perasaan itu adalah cerminan dari nurani serta akal sehat,” kata Deddy.
“Jadi tidak mungkin bagi orang untuk menyingkirkan perasaan dalam hal politik. Pak Jokowi dipuja, dibela, dan dipilih itu kan karena rakyat menggunakan perasaan. Kenapa sekarang orang dilarang untuk menggunakan perasaan?” sambungnya.
Ia berharap Presiden Jokowi dapat menjaga kewibawaannya. Ia tak ingin Jokowi dikenang sebagai presiden yang merusak citra demokrasi.
“Kita berharap Pak Jokowi benar-benar bisa menjaga wibawa, martabat, dan kehormatan lembaga negara dan dirinya pribadi. Jangan sampai beliau dikenang sebagai presiden yang merusak demokrasi. Kami tidak ikhlas kalau hal itu sampai terjadi!” pungkasnya.***DTK