Jarang Ada Spanduk-Lebih Menjual Kebijakan, Ini Bedanya Kampanye Pemilu Australia

Ragam74 Dilihat

JAKARTA || Australia akan menggelar pemilihan umum pada 3 Mei mendatang, dan saat ini sedang masa kampanye. Berbeda dengan di Indonesia, jalanan di Australia tidak dihiasi spanduk atau baliho besar dengan wajah para politisi, sehingga kurang terasa kalau Australia sedang menggelar pesta demokrasi.

Meskipun tetap ada, tapi jumlahnya sangat sedikit serta berukuran lebih kecil dibandingkan di Indonesia.

Setidaknya, itu yang dirasakan Sita Dewi, warga Indonesia yang sedang mengambil S3 di Australian National University.

Sita mengatakan suasana kampanye pemilu di Australia “terasa sepi” bila dibandingkan dengan di Indonesia yang “sangat meriah.”

“[Di Indonesia] baliho, poster, stiker di mana-mana,” katanya.

“Dan terkadang lucu juga karena [di Indonesia] … kandidat dari partai yang sama itu sebenarnya bersaing satu sama lain … jadi kadang-kadang di tiang listrik ada stiker, tapi besoknya sudah ditumpuk sama stiker kandidat lain.”

Ia mengatakan meski ada sebagian yang berpendapat alat peraga kampanye di Indonesia menjadi “polusi pemandangan”, Sita merasa keberadaannya membantu meramaikan suasana pemilu.

Arrizal Jaknanihan, warga Indonesia di kota Canberra yang akrab disapa Rizal, juga menyadari kalau atribut kampanye di Australia tidak sebanyak di Indonesia.

Rizal mengatakan “sangat suka” melihat atribut kampanye yang dipasang lebih teratur, bukan di sembarang tempat.

“Di sini ada regulasi yang lebih ketat soal bagaimana kita harus memasang atribut pemilu,” ujarnya.

“Jadi ini mungkin bisa membantu kita juga enggak cuma buat bikin kota yang lebih rapi, tapi juga bikin kita tidak mengotori kota hanya untuk pemilu.”

Mengedepankan kebijakan, bukan cuma sosok
Australia memiliki sistem dwi-partai, di mana terdapat dua partai besar yang bila menang akan meraih suara mayoritas di parlemen.

Ini berbeda dengan Indonesia yang mengenal sistem multi-partai, di mana bisa terdapat lebih dari satu calon dalam satu partai.

Di Australia, dua partai terbesar yang bersaing dalam pemilu adalah Labor Party, atau Partai Buruh, dan Partai Koalisi atau LNP, yang merupakan gabungan antara Partai Liberal dan Nasional.

Partai Buruh dipimpin oleh Anthony Albanese, yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Australia, sementara Partai Liberal-Nasional dipimpin oleh Peter Dutton, pemimpin oposisi.

Menurut Rizal, mahasiswa tahun kedua dalam program magister Hubungan Internasional Australian National University, para calon politik di Australia lebih mengedepankan perdebatan soal kebijakan serta program yang akan dilakukan.

“Yang pastinya [di Australia] lebih logis dan tidak ada gimmick yang kita lihat di Indonesia,” katanya.

“Mungkin jadinya kalau dari perspektif kita sebagai orang Indonesia jadi agak boring tapi itu membuat kita berpikir lebih kritis lagi buat agenda pemilu.”

Profesor dan Kepala Department of Political and Social Change ANU Edward Aspinall mengatakan persaingan perdebatan soal kebijakan “masih agak minim” di Indonesia.

Ini karena menurutnya warga Indonesia masih lebih fokus terhadap identitas partai yang Islam atau non-Islam, berdasarkan jajak pendapat yang melibatkan lebih dari 500 anggota legislatif di Indonesia.

“Yang lebih nampak dalam kompetisi menjelang pemilu [Australia] adalah perdebatan mengenai kebijakan ekonomi,” katanya.

“Biasanya itu yang menjadi perbedaan yang paling jelas antara kedua partai [di Australia], sedangkan kalau di Indonesia antara partai Islam dan partai non-Islam itu perbedaan paling pokok.”

Edward mengatakan Partai LNP di Australia, yang berhaluan kanan atau konservatif, umumnya ingin menurunkan pajak bagi warga dengan konsekuensi jumlah tunjangan sosial yang terbatas.

Sementara menurutnya Partai Buruh, yang berhaluan kiri, cenderung menetapkan pajak yang lebih tinggi sehingga bisa memberikan bantuan sosial yang lebih banyak.

Indonesia lebih memaafkan politisi
Profesor Edward mengatakan sikap masyarakat Australia dan Indonesia pun berbeda ketika menyikapi para politisi.

“Pada umumnya kalau kita melihat survei politik misalnya, tingkat kepuasan terhadap … lembaga [pemerintahan] Indonesia cenderung lebih tinggi,” katanya.

“Tafsiran yang bisa kami lakukan adalah memang masyarakat Indonesia itu cenderung memaafkan, cenderung menerima atau sebagian enggak mengkritik para pemimpinnya.”

Sementara ia mengatakan di Australia “sinisme cukup meluas.”

“Sehingga kalau sebuah partai ketika dipilih kemudian mengingkari janjinya, sebagian masyarakat [Australia] akan mengatakan ‘memang begitulah para politisi selalu, pengkhianat’,” katanya.

“Itu pun bisa berakibat fatal bagi partai yang berkuasa.”

Ia mencontohkan kasus mantan perdana menteri Australia Tony Abbott yang berjanji tidak akan memotong anggaran pendidikan dan kesehatan, namun malah melakukannya ketika menang.

“Dan langsung anjlok dukungannya dalam survei politik,” ujar Profesor Edward.

“Dan itu akhirnya berakibat dia diganti partainya karena dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai orang yang mengingkari janjinya.”

Namun para calon di Australia dan Indonesia menurut Profesor Edward mengalami tantangan yang sama dalam menjangkau masyarakat yang tidak peduli terhadap politik.

“Saya kira secara umum, di setiap negara selalu ada kelompok masyarakat yang terdidik, yang menaruh perhatiannya secara lebih serius pada dunia politik,” ujarnya.

“Sedangkan ada juga sebagian masyarakat yang mungkin karena pendidikannya kurang atau karena dari segi kelas sosial sosialnya dia tidak mempunyai pengalaman untuk bagaimana mengerti dunia politik, itu selalu ada di setiap negara.”

Dari sisi tingkat partisipasi pemilu, jumlah warga Indonesia yang memilih dalam pemilu tahun 2024 lalu lebih besar, yakni mencapai 204,8 juta.

Sementara menurut Australian Electoral Commission, setara KPU di Indonesia, jumlah warga Australia yang memenuhi syarat untuk memilih pada 31 Desember 2024 adalah 18,3 juta orang.

Professor Edward mengatakan Australia mewajibkan warganya untuk memilih, jika tidak maka akan dijatuhi hukuman denda, sehingga memaksa warga yang “alergi politik” untuk terlibat dalam proses demokrasi.***DTK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *