WASHINGTON DC || Gedung Putih berupaya meredakan kehebohan dan penolakan global yang muncul terhadap rencana kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza. Otoritas Washington juga mencabut sejumlah poin dalam pernyataan Trump yang mengejutkan dunia tersebut.
Di tengah penolakan global, Trump bersikeras mengatakan “semua orang menyukai” rencananya tersebut, yang diumumkan dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa (4/2) waktu setempat.
Trump, dalam konferensi pers itu, secara mengejutkan mencetuskan bahwa AS akan “mengambil alih Jalur Gaza” dan “akan memilikinya”, kemudian mengembangkannya secara ekonomi, setelah merelokasi warga Palestina di sana ke “negara-negara lainnya”.
Dia juga mengatakan bahwa relokasi atau permukiman kembali warga Gaza akan dilakukan “secara permanen”. Hal ini melampaui gagasan sebelumnya yang telah ditolak mentah-mentah oleh para pemimpin negara Arab.
“Jika kita dapat menemukan sebidang tanah yang tepat, atau banyak tanah, dan membangun tempat yang sangat bagus, pasti akan ada banyak uang di area tersebut. Saya pikir itu akan jauh lebih baik daripada kembali ke Gaza, yang dilanda banyak kematian selama berpuluh-puluh tahun,” ucap Trump pada Selasa (4/2).
Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt, seperti dilansir AFP, Kamis (6/2/2025), meralat pernyataan Trump, dengan mengatakan bahwa sang Presiden AS itu hanya menginginkan warga Palestina untuk “direlokasi sementara” dari Jalur Gaza, bukan direlokasi secara permanen ke negara-negara lainnya.
“Itu menjadi area penghancuran saat ini. Itu bukan tempat yang bisa ditinggali oleh manusia mana pun,” ucapnya.
Leavitt, dalam konferensi pers pada Rabu (5/2) waktu setempat, juga mengatakan bahwa pembangunan kembali Gaza tidak akan dibiayai oleh AS dan kemungkinan besar tentara AS tidak akan dikirimkan ke daerah kantong Palestina tersebut.
“Sudah diperjelas oleh presiden bahwa Amerika Serikat perlu terlibat dalam upaya pembangunan kembali untuk menjamin stabilitas di kawasan bagi semua orang,” ucap Leavitt dalam pernyataan terbarunya.
“Namun, hal ini tidak berarti bahwa akan ada pengerahan pasukan di Gaza, hal itu bukan berarti bahwa para pembayar pajak Amerika akan mendanai upaya ini,” jelasnya.
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio, yang mengatakan bahwa gagasan Trump mengambil alih Gaza “bukan dimaksudkan sebagai rencana jahat”. Rubio menyebutnya sebagai “langkah yang murah hati”.
“Saya pikir, hal itu dimaksudkan sebagai langkah yang sangat murah hati — tawaran untuk membangun kembali dan bertanggung jawab atas pembangunan kembali,” kata Rubio saat berbicara kepada wartawan di sela-sela kunjungan ke Guatemala.
Rubio juga mengatakan bahwa relokasi warga Gaza akan bersifat sementara. Dia menyebut Trump menawarkan kesediaan AS “untuk turun tangan, membersihkan puing-puing, membersihkan area tersebut dari semua kehancuran yang terjadi, membersihkan semua amunisi yang tidak meledak”.
“Dan sementara itu, orang-orang yang tinggal di sana tidak akan bisa tinggal di sana selama ada kru yang datang dan membersihkan puing-puing,” sebutnya.
Menurut Rubio, Trump ingin mendukung “pembangunan kembali rumah-rumah dan tempat usaha serta hal-hal semacam itu, sehingga masyarakat dapat kembali tinggal di sana”.
Gagasan kontroversial Trump untuk mengambil alih Gaza itu menuai kritikan dan penolakan dari banyak pihak, mulai dari Palestina, Arab Saudi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga negara-negara sekutu AS.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan Palestina tidak akan melepaskan tanah, hak dan situs-situs suci mereka. Ditegaskan juga Abbas bahwa Jalur Gaza merupakan bagian integral dari tanah negara Palestina, bersama dengan Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Kepala badan HAM PBB, Volker Turk, menegaskan bahwa mendeportasi orang dari wilayah pendudukan Palestina dilarang keras. Dia menekankan soal “hak untuk menentukan nasib sendiri” yang dimiliki warga Gaza, yang disebutnya sebagai “prinsip dasar hukum internasional dan harus dilindungi oleh semua negara”.***DTK