KPU Butuh Kepastian Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Atau Tertutup

Politik2498 Dilihat

 

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan pihaknya membutuhkan kepastian berkaitan dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka yang akan diimplikasikan dalam pemilu.

Komisioner KPU RI, Idham Holik mengatakan kepastian sistem pemilu ini diperlukan KPU mengingat implikasinya nanti tak hanya untuk parpol semata.

Lebih dari itu, kepastian sistem pemilu juga berkaitan dengan sistem informasi yang akan dibangun oleh KPU.

“Dalam pencalonan anggota legislatif, Kami menggunakan kebijakan less paper policy yang mana semua dokumen pencalonan diupayakan seluruhnya di digitalisasi dan dokumen hardcopy yang diserahkan itu hanya surat pendaftaran bakal calon oleh partai politik kepada kami,” ujar Idham dalam webinar Mencermati Pro-Kontra, serta Dampak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Kamis (9/2/2023).

“Selain itu juga kami harus mendesain kebijakan logistik pemilu. Yang kita ketahui sistem pemilu juga berimplikasi pada desain surat suara,” terangnya.

Idham mengemukakan hal itu bisa dilihat dari perbedaan yang sangat kontras antara pemilu 2004 dengan pemilu 2019. Di mana sistem proporsional dengan pemilu terakhir menggunakan sistem proporsional tertutup pada tahun 1999.

“Sudah pasti surat suara dalam sistem pemilu proporsional tertutup itu desain surat suaranya simpel, sederhana, cukup memuat lambang atau logo dan nama serta nomor urut parpol,” ujarnya.

Baca juga: KPU Respons Adanya Panggilan Pemeriksaan Terhadap Idham Holik oleh DKPP

Berbeda dengan sistem proporsional daftar terbuka di mana desain surat suaranya, sebagaimana diatur dalam Pasal 342 ayat UU pemilu memang lebih kompleks, dan memiliki ukuran lebih besar.

“Jadi kami membutuhkan kepastian berkaitan dengan sistem pemilu ini,” tegasnya.

Idham menambahkan, baik proporsional terbuka maupun tertutup, pada dasarnya memiliki problem tersendiri.

Menurutnya, banyak kritik terhadap sistem proporsional terbuka seperti masih terjadinya money politik atau politik materi.

“Yang berdasarkan hasil survei banyak sekali ya mengatakan bahwa sistem proporsional daftar terbuka high cost dengan biaya politik elektoral yang cukup tinggi,” ungkapnya.

Idham mencontohkan pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI banyak menemukan pelanggaran terkait politik uang.

“Sekarang pertanyaannya apakah sistem proporsional tertutup bebas dari politik uang? Tidak juga menurut saya. Ada persoalan isu baru yaitu candidacy buying,” ucapnya.

Idham mengakui memang isu money politic ini sudah menggema di setiap kali menjelang pemilihan kepala daerah.

“Jadi kedua sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bagi kami sebenarnya sampai sejauh mana pemilih berdaulat,” tuturnya.

Idham menegaskan persoalan politik uang adalah lingkaran setan yang tak kunjung usai.

“Siapa sih yang sebenarnya memulai ini. Apakah pemilih yang memulai atau para caleg. Tentunya tergantung pada standpoint Kita memandang ini,” paparnya.

Guna mengakhirinya, Idham menilai kedua pihak baik pemilih maupun yang dipilih harus sama-sama memiliki kesadaran konstitusional.

“Bagaimana para caleg yang bagian dari peserta pemilu ini memiliki integritas memiliki komitmen yang kuat. Bagaimana dengan pemilih di sinilah pentingnya perlu tidak sekadar memiliki literasi elektoral atau literasi regulsi, tapi pemilih juga memiliki etika politik,” tandasnya.***MIOL

EDITOR: ADI SISWOYO WASGO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *