Terorisme Yudisial Bisa Muncul dari Putusan Penundaan Pemilu

Politik1490 Dilihat

PUTUSAN Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang salah satunya secara implisit menunda pelaksanaan Pemilu 2024 ke 2025 berpotensi menjadi terorisme yudisial. Hal ini dapat terjadi jika putusan tersebut diperkuat di pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung.

Demikian disampaikan ahli hukum tata negara Heru Widodo dalam acara Focus Group Discussion (FGD): Pandangan dan Sikap KPU terhadap Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (9/3).

“Bagaimana kalau di (tingkat) banding (KPU) kalah, di (tingkat) kasasi kalah? Itu sejatinya merupakan salah satu wujud terorisme yudisial,” kata Heru.

Heru mengatakan, susasana teror terjadi karena putusan yang tidak masuk akal itu pada kenyataannya terjadi. Menurutnya, hal tersebut akan menciptakan kecemasan yang menggelayuti semua pihak karena meneror sistem keadilan pemilu.

“Tidak hanya penyelenggara (pemilu), tapi juga peserta pemilu, yakni partai politik,” terangnya.

Lebih lanjut, Heru menyebut bahwa terorisme yudisial merupakan salah satu sisi gelap aktivisme yudisial. Diketahui, KPU sendiri langsung menyatakan mengajukan banding setelah putusan atas perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu dibacakan pada Kamis (2/3) lalu.

Menurut Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, pihaknya akan mengajukan memori banding pada Jumat (10/3) besok. Terkait memori banding, Heru menyarankan KPU untuk menyusunnya secara ringkas dan tidak terlalu tebal.

“Karena kita paham hakim di pengadilan tinggi itu usianya sudah lebih tua, dan yang dilihat hanya berkas. Kalau kesan pertama yang dilihat majelis hakim halaman pertama yang lebih menarik, itu lebih mudah dicerna oleh hakim,” tandasnya.***MIOL