JAKARTA, informasiterpercaya.com || KOMISI XI DPR RI menyepakati Slamet Eddy Purnomo sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terpilih tahun 2023-2028.
Slamet mengantongi suara terbanyak di antara calon lainnya pascapemungutan suara setelah rangkaian uji kelayakan dan kepatutan. Nantinya Slamet akan menggantikan tugas Agus Joko Pramono yang akan berakhir Agustus mendatang.
“Dengan ini Slamet Edy Purnomo sebagai anggota BPK terpilih 2023-2028. Untuk itu akan kita tindak lanjuti dengan surat kepada pimpinan DPR, kepada ketua DPR untuk dikirimkan namanya kepada presiden,” ujar Ketua Komisi XI DPR RI, Kahar Muzakir Ruangan Komisi XI DPR RI, Jakarta Rabu (31/5) malam.
Komisi XI telah melakukan uji kelayakan dan kepatutan kepada 12 calon anggota BPK, dalam tiga hari berturut-turut sejak Senin (29/5) hingga Rabu (31/5).
Setelah seluruh calon anggota melakukan pemaparan gagasan dalam uji kelayakan dan kepatutan, Komisi XI DPR RI mengadakan rapat internal yang dilanjutkan dengan pemungutan suara. Penghitungan suara untuk pemilihan anggota BPK terpilih ini dilakukan secara terbuka.
Dari 56 suara yang masuk, Slamet Edy Purnomo meraup 32 suara mengalahkan rivalnya Dumoly Freddy Pardede yang meraih 24 suara.
Sebelum dikirim ke Presiden RI, nama anggota BPK terpilih akan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR melalui rapat Paripurna.
Setelah disetujui dalam rapat paripurna, Ketua DPR akan mengirimkan surat resmi kepada presiden mengenai nama anggota BPK terpilih. Anggota BPK terpilih baru bisa melaksanakan tugas bersama Pimpinan BPK lainnya setelah melakukan pengambilan sumpah jabatan.
Rangkaian pemilihan Anggota BPK ini telah dimulai sejak Maret 2023. Rapat internal Komisi XI menetapkan 14 nama calon anggota BPK yang berhak mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, juga membuka masukan dari masyarakat terkait calon anggota BPK yang ditutup pada 17 April.
Dalam presentasinya, dia mengangkat bahasan mengenai sinergi BPK RI dan DPR, dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas negara. Dia menekankan mengenai strategi optimalisasi peran BPK yang bekerjasama dengan lembaga lain khususnya DPR RI melalui penguatan penerapan good governance, untuk bersama-sama berdasarkan kewenangan masing-masing meningkatkan peran dalam kegiatan pemeriksaan dan pengawasan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara, dalam mengawal pembangunan nasional mencapai tujuan Indonesia Maju.
Dia mengidentifikasi permasalahan BPK secara umum terutama terkait tata kelola. Berdasarkan laporan semester dari hasil pemeriksaan sampai dengan semester I-2022, terdapat tingginya persentase jumlah rekomendasi temuan hasil pemeriksaan yang belum sepenuhnya ditindaklanjuti oleh auditee atau pihak yang diaudit oleh auditor, baik kantor maupun kantor pemerintah daerah.
“Posisi terakhir mencapai 52,82%. Dari 771 laporan hasil pemeriksaan semester I-2022, disajikan adanya 9.158 temuan dan pengungkapan sebanyak 15.674 permasalahan dengan nilai ekonomi sebesar Rp18,73 triliun.
Dari faktor penyebabnya, sebesar 51,8% lebih karena ketidakpatuhan audite karena terkait dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu ada 8.116 masalah dengan nilai ekonomis sekitar Rp17,3 triliun dan sebagian besar itu adalah masalah-masalah di BUMN.
Kemudian sebanyak 44,8% itu lebih karena kelemahan sistem pengendalian internal, yaitu ada 7.020 masalah. Sementara di sisi lain pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat maupun daerah terus menunjukkan perbaikan.
Dari semula 65% dari total auditee tahun 2015, meningkat menjadi 80% di tahun 2017. Posisi terakhir semester I-2022, pemberian WTP sudah mencapai 90%.
“Permasalahan tersebut diatas merupakan suatu hasil tata kelola yang tidak terlepas dari permasalahan struktur dan proses tata kelola di BPK,” kata Slamet.
Beberapa penyebabnya yaitu belum adanya keleluasaan dan mengelola anggaran SDM. BPK dianggap masih belum independen dari sisi anggaran dan pengelolaan SDM. Ini akhirnya mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari pemeriksaan.
Kedua, dukunyan teknologi informasi (e-audit) dalam pemeriksaan belum berjalan optimal. Beberapa hal masih belum terstandarisasi soal jenis dan file data, sehingga proses pengolahan data sebagian masih dilakukan manual.
Ini mempengaruhi integritas data yang digunakan dalam rangka identifikasi risiko dan permasalahan, menganalisis gejala dan indikasi awal dari akar penyebab permasalahan, penetapan sampling, maupun alokasi waktu pemeriksaan dan SDM.
Masih adanya kelemahan pada fungsi pengendalian kegiatan pemeriksaan yang pada ruang kontril yang semakin luas dengan tenaga pemeriksaan yang relatif terbatas. Hal ini seiring dengan dinamisasi perkembangan digitalisasi ekonomi mengubah berbagai kegiatan bisnis dan kebijakan sehingga risiko bawaan daripada kegiatan para auditee semakin meningkat.
Keempat, masih adanya kelemahan pada fungsi kepemimpinan, kontrol, monitoring, dan penyelesaian tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan, yang tercermin dari masih tingginya data pending tindak lanjut hasil pemeriksaan yang belum diselesaikan atau ditindaklanjuti oleh auditee.
“Beberapa kelemahan lainnya, mengakibatkan governance outcome kurang efektif dikomunikasikan dengan baik kepada auditee, sehingga banyak yang belum menindaklanjuti rekomendasi hasil audit BPK,” kata Slamet.
Menggunakan pendekatan analisis, dia mengusulkan lima program kerja strategis BPK RI yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kelemahan, mengoptimalkan kekuatan maupun kewenangan yang ada, untuk menjawab tantangan dan hambatan untuk memenuhi ekspektasi pemangku kepentingan, agar BPK menjadi lembaga kredibel dan kontributif.
Pertama, penguatan peran kelembagaan. Kedua, penguatan tata kelola kebijakan. Ketiga, penguatan organisasi dan sumber daya manusia. Keempat, bisnis proses re-engineering. Kelima, dukungan sistem infrastruktur teknologi informasi yang memadai.***MIOL