SINGAPURA || Singapura kembali dilanda gelombang COVID-19. Gelombang ini menjadi yang kesepuluh. Perkiraan jumlah kasus harian meningkat dari rata-rata 1.400 kasus menjadi 4.000 kasus dalam waktu satu bulan.
Berdasarkan data, tiga dari 10 kasus merupakan kasus reinfeksi atau pasien yang kembali terpapar COVID-19. Angka reinfeksi jauh lebih tinggi dibandingkan gelombang-gelombang sebelumnya, meningkat hingga 20 sampai 25 persen.
“Jumlah pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, naik dari 80 menjadi 220 selama sebulan terakhir, juga jauh di bawah yang terlihat selama periode krisis. Penerimaan perawatan intensif juga tetap stabil dan rendah, dengan kurang dari 10 pasien pada satu waktu selama sebulan terakhir,” kata Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung, dikutip dari Straits Times.
Menurutnya, meski jumlah memang meningkat cukup drastis, gejala yang ditimbulkan dinilai tidak lebih parah dari subvarian-subvarian sebelumnya.
Walau dianggap belum berbahaya, ia tetap mendesak mitra komunitas dan dokter umum untuk turut membantu mengedukasi dan mengedepankan protokol kesehatan, termasuk menggunakan masker bila merasakan gejala dan menjalankan vaksinasi rutin bagi kelompok rentan atau lansia.
“Pemahaman bahwa ini menyebabkan peningkatan infeksi tidak benar. Virus ini endemik, artinya selalu beredar di komunitas kita. Dalam situasi seperti itu, yang mendorong gelombang lokal kita bukanlah infeksi impor, tetapi infeksi ulang dari individu yang ada di masyarakat,” kata Ong.
Ia menjelaskan bahwa peningkatan kasus ini merupakan bagian dari dampak menurunnya antibodi yang sebelumnya terbentuk secara alami dari infeksi ataupun vaksinasi sehingga menyebabkan sejumlah orang terinfeksi ulang dan menyebabkan peningkatan kasus.
Saat ini, Kementerian Kesehatan Singapura mendata sejumlah varian yang beredar, yakni XBB, XBB.1.5, XBB.1.9, XBB.1.16 atau Arcturus, XBB.2.3, BN.1, CH.1.1. Di antara subvarian tersebut, idak ada varian yang disebut dominan.
“Apa yang terjadi adalah demonstrasi yang jelas tentang seberapa jauh kita telah melangkah. Bahkan selama gelombang infeksi COVID-19, seperti sekarang, kita tetap menjalani hidup secara normal, tidak disibukkan dengan angka infeksi, dan tidak terus menerus membicarakannya. Seperti inilah seharusnya endemisitas,” pungkas Ong.
Gejala Baru Subvarian Arcturus yang Terlihat pada Mata
Selain Singapura, subvarian Arcturus telah memicu peningkatkan kasus di sejumlah negara lainnya, seperti India dan Malaysia.
Berbeda dengan subvarian-subvarian terdahulu, varian Arcturus ini diketahui tak hanya menyebabkan gejala demam dan batuk, tetapi juga menimbulkan gejala baru, yaitu konjungtivitis atau mata merah dan gatal.
Berdasarkan penelitian dari Truhlsen Eye Institute dari Nebraska Medicine, gejala konjungtivitis dapat dilihat dengan mata yang berair, kemerahan, bengkak, nyeri, dan gatal.
Di luar dari gejala pada mata yang dinilai khas, terdapat beberapa gejala lainnya yang disoroti, seperti nyeri badan, gangguan pencernaan, sakit tenggorokan, dan pilek.***DTK