Partai Oposisi, Thailand, Bertemu Bahas Koalisi yang Rumit

Ragam639 Dilihat

BANGKOK, informasiterpercaya.com || Partai oposisi di Thailand bertemu guna melakukan pembicaraan koalisi di Bangkok pada Rabu (17/05), saat mereka berusaha untuk mengubah kesuksesan yang mengejutkan dalam pemilu pada akhir pekan lalu menjadi sebuah pemerintah yang berjalan. Partai liberal Move Forward, yang memenangkan suara terbesar, memimpin pembicaraan dan berusaha membentuk pemerintahan.

Partai ini mengundang lima partai lain ke dalam perundingan tertutup.

Namun, belum ada jaminan para partai tersebut dapat membentuk pemerintahan yang akan disetujui oleh Badan Legislatif bikameral Thailand – dengan majelis tinggi yang ditunjuk oleh pemerintahan yang kalah yang berafilisiasi dengan militer dan terkenal konservatif dalam tradisi pemungutan suara.

Bahkan, mereka bakal berjuang untuk mencapai konsensus antara satu sama lain dalam beberapa masalah, contohnya, undang-undang lese majeste yang ketat di negara ini, yang melarang kritik pada keluarga kerajaan.

Siapa saja yang ikut serta?
Pimpinan Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat, mengajak lima blok lainnya dalam diskusi itu.

Partai terbesar adalah Partai Pheu Thai, yang sebenarnya merupakan kekuatan dominan dalam politik Thailand selama bertahun-tahun, tetapi tidak mampu membentuk pemerintahan meskipun bernasib lebih baik daripada pimpinan yang beraliansi dengan militer dalam lima pemilu terakhir. Partai ini mendapatkan 141 kursi, menurut proyeksi terbaru, hanya 10 kursi dari total perolehan Move Forward.

Pita juga mendekati Thai Sang Thai, Prachachart, dari Partai Seri Ruam Thai and Partai Fair.

Meskipun terlihat berpose dalam beberapa foto sebelum pertemuan dimulai, keduanya bernegosiasi secara tertutup.

Partai terkuat ketiga tancapkan bendera soal isu lese majeste
Pada Rabu (18/05), partai terkuat ketiga dalam pemilu, Partai Bhumjaithai, menyatakan mereka tidak akan mendukung rencana Perdana Menteri untuk mengubah undang-undang negara yang melarang penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Menurut undang-undang ini kasus penghinaan terhadap keluarga kerajaan bahkan dapat membawa hukuman penjara yang lama.

Hal ini dapat menjadi pukulan besar bagi Pita yang moderat dan gerakan Move Forward miliknya, dengan mengatakan bahwa mereka hanya ingin membuat sedikit perubahan pada undang-undang, untuk menghindari risiko penyalahgunaan kekuasaan, kata partai tersebut.

Sementara itu, Pheu Thai memainkan kartunya dalam masalah ini dengan tetap pada rencana, dan pernyataan Bhumjaithai mendorong spekulasi soal kemungkinan mereka muncul sebagai pembuat keputusan yang efektif dan mendukung pimpinan Pheu Thai, Chonlanan Srikaew.

Bagaimana pun, Pheu Thai sendiri telah mendesak partai lain yang masih bertahan untuk bergabung dalam pembicaraan hari Rabu, yang menjadi isyarat adanya kesempatan untuk memerintah negara tersebut dalam kapasitas tertentu setelah bertahun-tahun memenangkan pemilu hanya untuk menyerahkan kekuasaan.

Thailand sendiri sangat menghormati keluarga kerajaannya, meskipun mereka telah tinggal di luar negeri selama beberapa dekade dan hampir tidak pernah berperan dalam kehidupan publik. Raja saat ini, Maha Vajiralngkorn, menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah keduanya di Bayern, Jerman.

Pemerintah Jerman di satu sisi keberatan dengan hal ini lantaran adanya dugaan pelanggaran diplomatik, hanya saja kekhawatiran tersebut hilang setelah menerima jaminan bahwa dia sama sekali tidak melakukan bisnis resmi apapun sebagai kepala negara dari vila di tepi danau di Pegunungan Alpen, Bayern.

Beberapa politisi oposisi Jerman menyatakan keraguan bahwa jaminan tersebut akurat saat itu, paling tidak karena Vajiralongkorn dilaporkan telah menunjukan minat yang lebih aktif dalam politik dibanding ayahnya yang telah lama berkuasa, Raja Bhumibol Audlyadej, yang meninggal tahun 2016 silam.

Senat pilihan sekutu militer jadi rintangan besar lain bagi pemerintah mendatang
Jika berbagai partai oposisi dapat menemui kesepakatan di antara mereka, hal ini mungkin juga tidak menjamin mereka untuk melantik Perdana Menteri dan pemerintahan.

Di bawah konstitusi Thailand yang dirancang oleh militer, mayoritas suara bikameral harus menyetujui perdana menteri baru. Hal ini berarti bahwa setiap perdana menteri di masa yang akan datang bakal membutuhkan dukungan dari para partai yang bersekutu dengan militer di majelis rendah, atau dari sebagian besar perwakilan ditunjuk oleh militer di Senat yang memiliki catatan mendukung mantan jenderal dan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.

Sebaliknya, kandidat perdana menteri yang setia kepada militer mungkin dapat melewati rintangan pemungutan suara ini dengan mudah. Namun, mengingat hasilnya, mereka bakal menghadapi risiko keresahan publik yang besar, dan juga menghadapi kemungkinan tidak dapat memerintah dari majelis rendah parlemen setelah berkuasa, karena kurangnya dukungan.

Lewat media sosial seperti Twitter, beberapa warga Thailand mengkritik situasi ini, dengan pertanyaan seperti “mengapa kita membutuhkan senat?”

Para analis memperkirakan bakal ada pembicaraan dan pembuatan kesepakatan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan karena partai-partai saling berebut untuk membentuk pemerintahan.***DTK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *