Memahami Kasus Korupsi Timah yang Timbulkan Kerugian Lingkungan Rp 271 T

Kriminal475 Dilihat

JAKARTA || Lagi-lagi jajaran kejaksaan mencuri perhatian dengan pengusutan perkara korupsi. Masih hangat dalam ingatan soal Jiwasraya dan ASABRI, kini perkara pertambangan menjadi sorotan.

Kasusnya sendiri bertajuk dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 atau bolehlah disingkat kasus korupsi timah. Sampai detik ini sudah ada 16 orang tersangka yang dijerat kejaksaan yang mana nama tersangka terakhir menjadi buah bibir yaitu Harvey Moeis yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi.

Kasus ini tidak serta merta muncul. Beda dari kasus-kasus yang biasa diusut KPK melalui operasi tangkap tangan atau OTT, perkara yang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini biasa disebut menggunakan metode case building atau mengembangkan kasus. Biasanya dalam perkara yang diusut melalui case building, pasal yang dikenakan memiliki ancaman hukuman yang lebih ngeri dibanding perkara-perkara yang sifatnya suap-menyuap. Ancaman hukumannya seumur hidup penjara atau bahkan mati dengan syarat kondisi tertentu.

Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) atau bisa disebut juru bicara dari Kejagung yaitu Ketut Sumedana pertama kali bicara mengenai kasus ini pada Selasa, 17 Oktober 2023. Saat itu Ketut mengatakan penyidik Jampidsus sudah melakukan penggeledahan dan penyitaan di 3 lokasi yang berada di Bangka.

“Tindakan penyitaan dan penggeledahan tersebut terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 s/d tahun 2022,” ujar Ketut kala itu.

Secara sederhana Ketut mengatakan kasus ini mengenai kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta secara ilegal. Hasil pengelolaan itu dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Dalam perkara ini Kejagung sudah menetapkan 16 orang tersangka di mana seorang di antaranya dijerat terkait perintangan penyidikan. Sedangkan 15 orang tersangka lainnya dalam pokok perkara. Berikut rinciannya:

Tersangka Perintangan Penyidikan
1. Toni Tamsil alias Akhi (TT)

Tersangka Pokok Perkara
2. Suwito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT SIP atau perusahaan tambang di Pangkalpinang, Bangka Belitung
3. MB Gunawan (MBG) selaku Direktur PT SIP
4. Tamron alias Aon (TN) selaku beneficial owner atau pemilik keuntungan dari CV VIP
5. Hasan Tjhie (HT) selaku Direktur Utama CV VIP
6. Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku mantan Komisaris CV VIP
7. Achmad Albani (AA) selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP
8. Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT SBS
9. Rosalina (RL) selaku General Manager PT TIN
10. Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT RBT
11. Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT
12. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku Direktur Utama PT Timah 2016-2011
13. Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018
14. Alwin Akbar (ALW) selaku mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah
15. Helena Lim (HLN) selaku manager PT QSE
16. Harvey Moeis (HM) selaku perpanjangan tangan dari PT RBT

Provinsi Bangka Belitung sendiri dikenal sebagai penghasil timah. Dalam praktiknya penambangan timah ilegal di wilayah itu marak. Menurut Kuntadi selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Harvey mewakili PT RBT menghubungi sejumlah smelter atau bisnis-bisnis peleburan timah yang terlibat dalam kasus ini.

Harvey juga pernah menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani ketika aktif sebagai Direktur Utama PT Timah. Maksud Harvey berkomunikasi dengan Mochtar adalah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah itu yaitu dengan modus sewa-menyewa alat peleburan timah.

“Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud,” kata Kuntadi.

Sebelum menjerat Harvey, kejaksaan sudah lebih dulu menetapkan Helena Lim sebagai tersangka. Dari rumahnya disita duit miliaran jumlahnya serta brankas berisi perhiasan. Rupanya antara Harvey dan Helena ini terdapat benang merah. Kejagung menduga Harvey meminta pihak smelter menyisihkan keuntungan yang dihasilkan dari praktik terselubung itu di mana kemudian dikelola seolah-olah menjadi dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi Helena.

“(Keuntungan yang disisihkan) diserahkan kepada yang bersangkutan dengan cover pembayaran dana CSR yang dikirim para pengusaha smelter ini kepada HM melalui QSE yang difasilitasi oleh tersangka HLN,” ujar Kuntadi.

Kasus ini masih berproses tetapi Kejagung sempat memunculkan dugaan kerugian lingkungan yang timbul. Angkanya fantastis: Rp 271 triliun. Dari mana hitungannya?

Kejagung pada 19 Februari 2024 menghadirkan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Dia melakukan penghitungan kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Babel imbas dari dugaan korupsi yang merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 itu berisi tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Berikut bunyi pasal yang mengatur mengenai penghitungan kerugian lingkungan sebagaimana dilihat detikcom:

Pasal 4

(1) Penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli di bidang:
a. pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau;
b. valuasi ekonomi lingkungan hidup.

(2) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh:
a. pejabat eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung jawab di bidang penaatan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat; atau
b. pejabat eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah.

(3) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas:
a. bukti telah melakukan penelitian; dan/atau
b. bukti telah berpengalaman, di bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan Format Penunjukan Ahli sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

(1) Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sesuai dengan Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan/atau masyarakat.

Pasal 6

(1) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup oleh ahli dipergunakan sebagai penilaian awal dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(2) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(3) Perubahan besarnya Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis.

(4) Faktor teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain :

a. durasi waktu atau lama terjadinya Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;
b. volume polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;
c. parameter polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;
d. luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau
e. status lahan yang rusak.

(5) Faktor nonteknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:
a. inflasi; dan/atau
b. kebijakan pemerintah.

Menimbang hal-hal di atas, menurut Bambang, angka kerugian lingkungan dalam kasus itu mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun. Bambang menjelaskan angka Rp 271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Dia merinci perhitungan kerugian dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan. Rinciannya sebagai berikut:

Kerugian Kawasan Hutan:
– Kerugian lingkungan ekologisnya Rp 157,83 Triliun
– Ekonomi lingkungannya Rp 60,276 Triliun
– Pemulihannya itu Rp 5,257 Triliun
Total untuk yang di kawasan hutan adalah Rp 223 Triliun atau lengkapnya Rp 223.366.246.027.050.

Kerugian Non Kawasan Hutan:
– Biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 Triliun
– Kerugian ekonomi lingkungannya Rp 15,2 Triliun
– Biaya pemulihan lingkungan Rp 6,629 Triliun
Total untuk untuk nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 Triliun

“Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah 271.069.687.018.700,” kata Bambang dalam jumpa pers bersama Kejagung saat itu.

Bambang mendata total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare.

“Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare,” ujar dia.

Angka ini bukanlah angka kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, melainkan angka awal sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 1 di Permen LH 7/2014. Terkait penghitungan kerugian negara yang masih dihitung itu sebelumnya juga sudah disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung Kuntadi.

“Kerugian ini masih akan kita tambah dengan kerugian keuangan negara yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya masih kita tunggu,” kata Kuntadi.

“Hasilnya seperti apa, yang jelas kalau dari sisi pendekatan ahli lingkungan beberapa saat yang lalu sudah kami sampaikan. Selebihnya masih dalam proses untuk perumusan formulasi penghitungannya,” imbuhnya.***DTK