Bawaslu: Tak Ada Ajakan Pilih Elite PDIP Saat Pembagian Amplop di Masjid

Politik1425 Dilihat

JAKARTA || Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan tak ada pelanggaran dalam kegiatan bagi-bagi amplop merah berlogo PDIP dan berfoto Ketua DPP Said Abdullah ke jemaah di Masjid Sumenep. Bawaslu tidak menemukan adanya ajakan memilih kader PDIP yang fotonya terpampang di amplop.

“Tidak terdapat ajakan atau imbauan untuk memilih Said Abdullah atau Ahmad Fauzi saat pembagian amplop dilakukan. Meski demikian penerima dapat mengira bahwa amplop berisi uang tersebut berasal dari Said Abdullah karena melihat gambar di amplop,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja dalam konferensi pers, Kamis (6/4/2023).

Hal tersebut berdasarkan pemeriksaan barang bukti dan klarifikasi terhadap beberapa pihak, di antaranya Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Sumenep, takmir Masjid Abdullah Syehan Beghraf di Desa Legung Timur di Kecamatan Batang-Batang, Takmir Masjid Naqsabandi, Masjid Laju Sumenep, dan Musholla Abdullah di Kecamatan Kota Sumenep, Takmir Masjid Fatimah Binti Said Ghauzan di Desa Jaba’an Kecamatan Manding serta para penerima amplop.

Penelusuran dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten Sumenep dan Panwaslu Kecamatan Batang-Batang, Panwaslu Kecamatan Kota Sumenep, dan Panwaslu Kecamatan Manding sejak 27 Maret 2023 hingga 2 April 2023.

“Berdasarkan keterangan yang diperoleh, didapat informasi bahwa pembagian uang tersebut merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Said Abdullah hampir setiap tahun yang dianggapnya sebagai zakat,” jelas Bagja.

Meski begitu, Bawaslu memandang hal tersebut berpotensi menjadi persoalan hukum karena pelaksanaannya bertepatan dengan momentum penyelenggaraan Pemilu 2024. Potensi itu terlebih karena terdapat logo partai politik dan foto seseorang.

“Penempatan logo dan foto diri dapat mengesankan citra diri seseorang yang merupakan salah satu unsur kampanye. Lebih lagi, peristiwa terjadi di tempat ibadah,” kata Bagja.

Peristiwa tersebut memiliki kesamaan dengan muatan kampanye pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa kampanye pemilu merupakan kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.

Dalam kampanye pemilu terdapat larangan, salah satunya adalah dilarang dilaksanakan di tempat ibadah serta dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h dan j UU Pemilu.

“Meski demikian Bawaslu menilai peristiwa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kampanye pemilu, alasannya adalah secara hukum, jadwal kampanye belum dimulai. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu Tahun 2024, kampanye pemilu baru akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024,” terang Bagja.

Bawaslu menyampaikan PDIP merupakan parpol Peserta Pemilu 2023 yang dikategorikan sebagai subjek hukum. Namun, peristiwa tersebut terjadi atas inisiatif Said Abdullah, bukan keputusan partai.

“Dengan pertimbangan tersebut, peristiwa yang terjadi tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sosialisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018,” ujar Bagja.

Di samping itu, Said Abdullah saat ini bukan merupakan kandidat atau calon dalam Pemilu 2024. Hal tersebut karena tahapan pemilu belum memasuki tahapan pencalonan Anggota DPR, DPRD, DPD, atau Presiden dan Wakil Presiden.

“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Bawaslu menyimpulkan tidak terdapat dugaan pelanggaran pemilu dalam peristiwa pembagian amplop berisi uang yang terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Sumenep,” tegas Bagja.

Bagja mengingatkan kepada partai politik peserta pemilu maupun pihak-pihak lain untuk tidak melakukan politik transaksional seperti membagi-bagikan uang yang dapat terindikasi politik uang. Politik transaksional, terutama setelah penetapan calon atau pasangan calon berimplikasi pada sanksi pembatalan sebagai calon atau paslon peserta pemilu seperti diatur dalam Pasal 286 UU Pemilu.

Politik uang juga dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak 48 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 523 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pemilu. Lebih jauh, bila perbuatan tersebut terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka berimplikasi ke sanksi administratif berupa pembatalan dari daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai calon terpilih, sebagaimana dimaksud Pasal 285 UU pemilu

“Selanjutnya, Bawaslu mengingatkan kepada partai politik peserta pemilu maupun pihak- pihak lain untuk tidak melakukan larangan-larangan dalam pemilu. Bawaslu mendorong semua pihak untuk menciptakan kompetisi yang adil, melakukan kegiatan politik yang meningkatkan kesadaran politik masyarakat, serta mempererat persatuan,” imbuhnya.***DTK