Korban KDRT Alami Reviktimisasi, DPR Sebut Polisi Tidak Paham Undang-Undang

Kriminal885 Dilihat

JAKARTA, informasiterpercaya.com || KORBAN KDRT Putri Balqis di Depok, Jawa Barat, yang dijadikan tersangka dan ditahan polisi melecut kemarahan publik. Reviktimisasi yang dilakukan Polres Depok terhadap korban KDRT, mendapat sorotan keras dari DPR.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah menilai kepolisian belum jeli menerapkan Undang-Undang UU No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) untuk setiap kasus yang ditangani. Tidak heran, penegak hukum salah dalam menentukan siapa pelaku dan korban KDRT sebenarnya.

Putri Balqis, korban yang mengalami kekerasan justru dijadikan tersangka dan ditahan atas laporan balik yang dilayangkan suaminya (reviktimisasi). Padahal perempuan tersebut dianiaya hingga terluka cukup parah. Namun justru dipolisikan oleh sang suami.

Dalam pengakuan korban, matanya disiram bubuk cabai, kepala dibenturkan ke dinding, dan rambut dijambak. Korban, refleks membela diri dengan meremas kelamin pelaku saat dianiaya.

“Dalam hal ini korban KDRT dijadikan tersangka dan bahkan ditahan, saya kira ada yang salah dengah aparat penegak hukum. Korban KDRT harus diperlakukan sebagai korban, jangan malah diperlakukan sebagai pelaku,” kata Luluk, Jumat (26/5)

Luluk menekankan dasar penahanan terhadap korban juga tidak mencerminkan pemahaman penyidik terhadap UU KDRT, apalagi UU TPKS.

Dia berharap agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendorong seluruh jajaran di bawahnya untuk berhati-hati dalam menangani kasus KDRT. Sebab dalam UU KDRT, pembelaan yang dilakukan korban tidak bisa menjadi ranah pidana.

Lex specialis

Luluk menegaskan, pembelaan korban lebih berkaitan dengan perlindungan dan penghormatan hak-hak korban. UU KDRT juga bertujuan untuk melindungi korban dan mencegah tindakan kekerasan, serta memberikan penanganan yang tepat terhadap pelaku.

“Dan ini harus jadi atensi Kapolri untuk memastikan semua aparat yang menangani kasus KDRT atau juga TPKS benar-benar memahami UU Lex specialis yang secara khusus memang dibuat untuk kasus pidana khusus ini,” jelasya.

Lex specialis derogat merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Luluk menilai penyidik Polres Metro Depok yang awalnya menangani kasus ini, kurang berimbang.

“Saya harap ada sanksi yang diberikan untuk penyidik yang bekerja secara tidak profesional agar tidak jadi preseden di tempat lain,” cetusnya.

Menurut Luluk, sikap ketidakprofesionalan aparat kepolisian akan berdampak terhadap fenomena keengganan korban lain untuk melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya. Situasi yang menempatkan korban KDRT menjadi pelaku akan semakin membuat para korban diam dan menyimpan rapat-rapat situasi yang dialami sampai kondisi benar-benar parah dan mengancam jiwanya.

“Pihak kepolisian diingatkan bahwa setiap korban KDRT yang berani melapor kepada pihak berwajib harus mendapat perhatian khusus. Tak hanya itu, korban KDRT yang melapor ke pihak berwajib harus langsung mendapatkan perlindungan dan kasusnya ditangani dalam waktu 1×24 jam sejak keluarnya Laporan Kepolisian (LP),” cetus Luluk.

Dari penjelasan keluarga korban KDRT, Putri Balqis harus menunggu di Polres selama dua hari dan tidak diperbolehkan pulang. Meski ia jatuh pingsan karena penyakit asam lambungnya dan harus meninggalkan tiga anaknya di rumah.

“Kakak gue masuk UGD karena drop 2 hari disuruh nunggu di polres dan ga boleh pulang. Didesak untuk ambil jalur damai dengan keluarga suaminya. Btw KDRT sudah berlangsung belasan kali dan sudah 14 tahun kakak gue bertahan,” tulis pemilik akun @saharahanum di Instagram yang juga adik korban.***MIOL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *