KPU Diduga Sengaja Kurangi Kuota Minimal 30% Keterwakilan Caleg Perempuan

Politik1789 Dilihat

JAKARTA, informasiterpercaya.com || KEPUTUSAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengkompromi kekurangan kuota keterwakilan calon legislatif (caleg) perempuan minimal 30 % menuai polemik.

Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai kebijakan KPU bertentangan dengan bunyi Undang-Undang (UU) 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan setiap partai politik (parpol) memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

“Bertentangan dengan UU Pemilu yang menyatakan bahwa daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Artinya, boleh lebih dari 30%, tapi tidak boleh kurang dari 30%,” ujar Titi saat dihubungi di Jakarta, Selasa (3/5).

Kebijakan KPU tersebut diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10/2023 yang mengatur soal pencalonan anggota DPR dari tingkat pusat sampai daerah. PKPU tersebut memungkinkan keterwakilan perempuan di bawah 30%.

Titi menyoroti Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023 yang mengatur soal pembulatan desimal ke bawah. Ini dapat terjadi jika dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan atau dapil menghasilkan pecahan kurang dari 50 di belakang koma.

Ia memberi contoh, partai politik atau parpol yang mengajukan empat bacaleg di sebuah dapil dengan empat kursi, maka keterwkilan perempuannya adalah 1,2 dari hasil presentase 30%.

“Kalau pakai pembulatan, Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023, maka hasilnya dibulatkan jadi satu. Problemnya akan muncul sebab satu dari empat adalah hanya 25%, artinya kurang dari paling sedikit 30%,” jelas Titi.

Menurutnya, pengaturan oleh KPU soal pembulatan ke bawah itu merupakan sikap yang disengaja. Hal tersebut menunjukkan rendahnya komitmen keterwakilan perempuan dan sengaja melawan perintah UU Pemilu.

Padahal saat Pemilu 2019, KPU masih menerapkan kebijakan pembulatan desimal ke atas untuk berapapun angka hasil pembagian.

“Bisa dibilang KPU sudah melanggar hukum dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu atas kesengajaannya tersebut,” tandas Titi.

Terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati menegaskan bahwa keterwakilan perempuan bukan sebatas aturan yang harus dipenuhi semata. Penyelenggara pemilu, lanjutnya, harus membuat kebijakan turunan yang ramah dan dapat mempermudah perempuan untuk menjadi bacaleg.

Beberapa hambatan bagi perempuan untuk berkontestasi dalam pemilu antara lain keterbatasan informasi dan ruang serta minimnya dukungan. Bahkan, Mike mengatakan tak jarang perempuan terbentur aturan partai politik yang memberatkan.

“Misalnya harus punya uang sekian, itu yang mereka (perempuan) akhirnya berpikir ini kayaknya enggak mungkin,” kata Mike.***MIOL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *